Pilih Bahasa

Powered By Blogger

Senin, 07 Juni 2010

Kisah Kegundahan Seorang Yang Soleh Perihal Putrinya

Kisah perjalanan batin seorang ulama, melalui doa, rasa kecewa, takut, marah, khawatir, hingga
mendapatkan hidayah, bahwa putri bungsunya yang progressive/agresive ternyata tetap dalam
lindungan dan Jalannya Allah S.W.T.
Medan, 15 Juni 1975
Hari ini engkau terlahir ke dunia, anakku. Meski tidak seperti harapanku bertahun-tahun
merindukan kehadiran seorang anak laki-laki, aku tetap bersyukur engkau lahir dengan selamat
setelah melalui jalan divakum. Telah kupersiapkan sebuah nama untukmu; Qaulan Syadida..Aku
sangat terkesan dengan janji Allah dalam surat Al-Ahzab ayat tujuh puluh, maknanya perkataan
yang benar. Harapanku engkau kelak menjadi seorang yang kaya iman dan memperoleh
fauzan'adzima, kemenangan yang besar seperti yang engkau telah dijanjikan Allah dalam Al-Quran.
Sungguh kelahiranmu telah mengajarkanku makna bersyukur...
1981 Tahun ini engkau memasuki sekolah dasar. Usiamu belum genap enam tahun. Tetapi engkau
terus merengek minta disekolahkan seperti saudarimu. Engkau berbeda dari keempat kakakmu
terdahulu. Bagaimana engkau dengan gagah tanpa ragu atau malu-malu melangkah memasuki ruang
kelasmu. Bahkan engkau tak minta dijemput. Saat ini aku mulai menyadari sifat keberanian yang
tumbuh dalam dirimu yang tak kutemukan dalam diri saudarimu yang lain.
1987 Putriku, sungguh aku pantas bangga padamu. Tahun ini engkau ikut Cerdas Cermat tingkat
nasional di TVRI. Dengan bangga aku menyaksikan engkau tampil penuh percayar diri di layar
kaca dan aku pun bisa berkata pada teman-temanku; itu anakku Qaulan...Meski tidak juara pertama,
aku tetap bangga padamu. Namun di balik rasa banggaku padamu selalu terbesit satu kekhawatiran
akan sikapmu yang agak aneh dalam pengamatanku. Tidak seperti keempat kakakmu yang kalem
dan cendrung memilik sifat-sifat perempuan, engkaujustru sangat angresif, pemberani, agak keras
kepala, meski tetap santun padaku dan selalu juara kelas.
Jika hari Ahad tiba, engkau lebih suka membantuku membersihkan taman, mengecat pagar, atau
memegangi tangga bila aku memanjat membetulkan bocor. Engkau lebih sering mendampingiku
dan bertanya tentang alat-alat pertukangan ketimbang membantu ibumu memasak di dapur seperti
saudarimu yang lain.
Kebersamaan dan kedekatanmu denganku, membuatku sering meperlakukanmu sebagai anak
lelakiku, dengan senang hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, membekalimu dengan
pengatahuan dan permainan untuk anak lelaki. Tak jarang kita berdua pergi memancing atau
sekedar menaikkan layang-layang sore hari di lapangan madrasah tempat aku mengajar.
Putriku, sungguh kekhawatiranku berbuah juga. Engkau menolak bersekolah di tsanawiyah seperti
saudarimu. Diam-diam tanpa sepengetahuanku engkau telah mendaftar di sebuah SMP negeri.
Bukan kepalang kemarahanku. Untunglah ibumu datang membelamu, jika tidak mungkin tangan ini
sudah berpindah ke pipimu yang putih mulus. Tegarnya watakmu, bahkan tak setetes airmata jatuh
dari kedua matamu yang tajam menatapku.
Putriku, jika aku marah padamu semata-mata karena aku khawatir engkau larut dalam pola
pergaulan yang tak benar, anakku. Terlebih-lebih saat engkau menolak mengenakan jilbab seperti
keempat kakakmu. Betapa sedih dan kecewa hatiku melihatmu, Nak...
ARTIKEL HIKMAH HALAMAN 49DARI 67
1993 Tahun ini engkau menamatkan SMAmu. Engaku tumbuh menjadi gadis cantik, periang,
pemberani, dan banyak teman. Temanmu mulai dari tukang kebun sampai tukang becak, wartawan,
bahkan menurut ibumu pernah anggota Kopassus datang mencarimu.
Putriku, disetiap bangun pagiku, aku seolah tak percaya engkau adalah putriku, putri seorang yang
sering dipanggil Ustadz, putri seorang kepala madrasah, putri seorang pendiri perguruan Islam...
Putriku, entah mengapa aku merasa seperti kehilanganmu. Sedih rasanya berlama-lama menatapmu
dengan potongan rambut hanya berbeda beberapa senti dengan rambutku. Biar praktis dan sehat;
berkali-kali itu alasan yang kau kabarkan lewat ibumu. Jika terjadi sesuatu yang tidak baik pada
dirimu selama melewati usia remajamu, putriku maka akulah orang yang paling bertanggung jawab
atas kesalahan itu. Aku tidak behasil mendidikmu dengan cara yang Islami.
Dalam doa-doa malamku selalu kebermohon pada Rabbul 'Izzati agar engkau dipelihara olehNya
ketika lepas dari pengawasan dan pandangan mataku. Kesedihan makin bertambah takkala diamdiam
engkau ikut UMPTN dan lulus di fakultas teknik. Fakultas teknik, putriku? Ya Rabbana, aku
tak sanggup membayangkan engkau menuntut ilmu berbaur dengan ratusan anak laki-laki dan
bukan satupun mahrommu?
Dalam silsilah keluarga kita tidak satupun anak perempuan belajar ilmu teknik, anakku. Keempat
kakakmu menimba ilmu di institut agama dan ilmu keguruan. Ya, silsilah keluarga kita adalah
keluarga guru, anakku. Engkau kemukakan sejumlah alasan, bahwa Islam juga butuh arsitek, butuh
teknokrat, Islam bukan tentang ibadah melulu...Baiklah, aku sudah terlalu lelah menghadapimu, aku
terima segala argumen dan pemikiranmu,putriku..
Dan aku akan lebih bisa menerima seandainya engkau juga mengenakan busana Muslimah saat
memulai masa kuliahmu.
1995 Tahun ini tidak akan pernah kulupakan. Akan kucatat baik-baik...Engkau putriku, yang selalu
kusebut namamu dalam doa-doaku, kiranya Allah S.W.T mendengar dan mengabulkan pintaku.
Ketika engkau pulang dari kuliahmu; subhannalah! Engkau sangat cantik dengan jilbab dan baju
panjangmu, aku sampai tidak mengenalimu, putriku. Engkau telah berubah, putriku.. Apa
sesungguhnya yang engkau dapati di luar sana. Bertahun-tahun aku mengajarkan padamu tentang
kewajiban Muslimah menutup aurat, tak sekalipun engkau cela perkataanku meski tak sekalipun
juga engkau indahkan anjuranku. Dua tahun di bangku kuliah, tiba-tiba engkau mengenakan busana
takwa itu? Apa pula yang telah membuatmu begitu mudah menerima kebenaran ini? Putriku,
setelah sekian lamanya waktu berlalu, kembali engkau mengajarkan padaku tentang hakikat dan
makna bersyukur.
1997 Putriku, kini aku menulis dengan suasana yang lain. Ada begitu banyak asa tersimpan di
hatiku melihat perubahan yang terjadi dalam dirimu. Engkau menjadi sangat santun, bahkan terlihat
lebih dewasa dari keempat saudarimu yang kini telah berumah tangga semuanya. Kini, hanya
engkau aku dan ibumu yang mendiami rumah ini.
Kurasakan rumah kita seolah-olah berpendar cahaya setiap saat dilantuni tilawah panjangmu.
Gemercik suara air tengah malam menjadi irama yang kuhafal dan pantas kurenungi.
Putriku, jika aku pernah merasa bahagia, maka saat paling bahagia yang pernah kurasakan di dunia
adalah saat ketika diam-diam aku memergokimu tengah menangis dalam sujud malammu....
ARTIKEL HIKMAH HALAMAN 50DARI 67
Selalu kuyakinkan diriku bahwa akulah si pemilik mutiara cahaya hati itu, yaitu engkau putriku...
1998 Putriku, kalau saat ini aku merasa sangat bangga padamu, maka itu amat beralasan. Engkau
telah lulus menjadi sarjana dengan predikat cum laude. Keharuan yang menyesak dadaku
mengalahkan puluhan tanya ibumu, diantaranya; mengapa engkau tidak punya teman pendamping
pria seperti kakak-kakakmu terdahulu? Engkau begitu sederhana, putriku, tanpa polesan apapun
seperti lazimnya mereka yang akan berangkat wisuda, semua itu justru membuatku semakin bangga
padamu. Entah darimana engkau bisa belajar begitu banyak tentang kebenaran, anakku...
Jika hari ini aku meneteskan airmata saat melihatmu dilantik, itu adalah airmata kekaguman melihat
kesungguhan, ketegaran, serta prinsip yangengkau pegan teguh. Dalam hal ini akupun mesti belajar
darimu, putriku...
1 Agustus 1999
Putriku, bulan ini usiaku memasuki bilangan enampuluh tiga. Aku teringat Rasulullah mengakhiri
masa dakwahnya didunia pada usia yang sama.
Akhir-akhir ini tubuhku terasa semakin melemah. Penyakit jantung yang kuderita selama bertahuntahun
kemarin mendadak kumat, saat kudapati jawaban diluar dugaan dari keempat saudarimu.
Tidak satu pun dari mereka bersedia meneruskan perguruan yang telah kubina selama puluhan
tahun. Aku sangat maklum, mereka tentu mempunyai pertimbangan yang lain, yaitu para suami
mereka.
Sedih hatiku melihat mereka yang telah kudidik sesuai dengan keinginanku kini seolah-oleh
bersekutu menjauhiku.
Jika aku menulis diatas tempat tidur rumah sakit ini, itu dengan kondisi sangat lemah, putriku. Aku
tak tahu pasti kapan Allah memanggilku. Putriku....kutitipkan buku harianku ini pada ibumu agar
diserahkan padamu. Aku percaya padamu...Jika aku memberikan buku ini padamu, itu karena aku
ingin engkau mengetahui betapa besar cintaku padamu, mengapa dulu aku sering
memarahimu..maafkan buya, putriku...
Kini hanya engkau satu-satunya harapanku...Aku percaya perguruan yang telah kubangun dengan
tanganku sendiri ini padamu. Aku bercita-cita mengembangkannya menjadi sebuah pesantren.
Engkau masih ingat lapangan tempat kita dulu menaikkan layangan? Itu adalah tanah warisan
almarhum kakekmu.
Di lapangan itulah kurencanakan berdiri bangunan asrama tempat para santri bermukim. Engkau
seorang arsitek, anakku, tentu lebih memahami bangunan macam apa yang sesuai untuk kebutuhan
sebuah asrama pesantren...
Kuserahkan sepenuhnya kepadamu, juga untuk mengelolanya nanti. Sebab aku yakin, dari
tanganmu, dari hatimu yang jernih, dari perkataan dan tindakanmu yang selalu sejalan dengan
kebenaran akan terlahir sebuah fauzan'adzima, kemenangan yang besar, seperti yang telah Allah
janjikan, yakinlah, putriku...
Dalam diri dan jiwamu kini terhimpun beragam kapasitas keilmuan dunia dan akhirat. Kini kusadari
engkau bukan saja sekedar terlahir dari rahim ibumu, tetapi juga lahir dari rahim bernama Hidayah.
Semoga Allah menyertai dan memudahkan jalan yang akan engkau lalui, putriku. Amien Ya Rabbal
ARTIKEL HIKMAH HALAMAN 51DARI 67
'Alamiin.
12 Agustus 1999
Rabbi, jika airmata ini bukan tumpah, bukan karena aku tidak mengikhlaskan buyaku Engkau
panggil, tapi sebab aku belum mengenali buyaku selama ini, seutuhnya. Sebab hanya seujung kuku
baktiku padanya. Rabbi, perkenankan aku menjalankan amanah Buya dengan segenap radhi-Mu.
hanya Engkau..ya Mujib...
(Sumber : Edi S. Kurniawan, Muhammad Haryadi, e-mail : Riyadi_albatawy@yahoo.co.id)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More