Pilih Bahasa

Powered By Blogger

Jumat, 18 Juni 2010

"Gotong Royong" Membendung Pemurtadan

Mereka menggarap kantong-kantong kemiskinan di berbagai daerah, kendati terbentur minimnya dana.

Tak sulit menemukan Rumah Singgah Sakinah 1 di dekat Pasar Gembrong, Cipinang, Jakarta Timur. Tanyalah pada anak-anak jalanan di sekitar pasar, pasti dengan senang hati mereka akan menunjukkannya.

Di bangunan semi permanen ini, semua aktivitas keagamaan berpusat. Mulai dari pembinaan anak-anak jalanan, pendidikan anak usia dini, taman pendidikan Alquran, hingga pengajian kaum bapak dan kaum ibu.

Empat kali seminggu, balita dari keluarga dhuafa berkumpul untuk mendapatkan makanan tambahan gratis. Pengobatan cuma-cuma juga kerap digelar. ''Dulu, hampir tiap bulan ada bayi meninggal di sini, karena gizi buruk,'' ujar Ade Zulkifli, pengelola RSS 1.

RSS 1 adalah kepanjangan tangan Forum Silaturahmi Antar pengajian (Forsap) di wilayah itu. Rumah singgah ini memang anggota Forsap sejak kali pertama berdiri, tahun 2001. Sama seperti Forsap, fokus utama kegiatan RSS 1 adalah membentengi pemurtadan di kantong-kantong kemiskinan. Daerah sekitar Pasar Gembrong ini adalah bidikan utama kaum misionaris.

Menurut Ade, mereka saweran untuk menghidupi kegiatan di RSS 1. Para mahasiswa menjadi relawan untuk program bimbingan belajar para siswa dhuafa. Pengurus gotong royong mengumpulkan uang untuk program pemberian makanan tambahan. Sumbangan donatur digunakan untuk operasional kegiatan lain dan membayar guru TPA dan PADU.

Namun belakangan ia gundah. Sebuah organisasi non-Muslim mendirikan pusat kegiatannya di samping RSS 1. ''Mereka mencoba menarik anak-anak binaan kami,'' ujarnya. Upaya pemurtadan, memang gencar dilakukan di kalangan non-Islam. Sebelum Ade datang di wilayah itu, organisasi lain sudah mulai melakukan pendekatan. Beberapa warga mulai menanggalkan keislamannya.

Dari mereka, Ade dan teman-teman dari Forsap belajar tentang cara mereka melakukan pendekatan. ''Banyak yang kemudian balik ke Islam lagi. Mereka bilang, 'Saya ikut agama Kang Ade aja','' ia menuturkan. Umumnya, Forsap memang menggarap kantong-kantong kemiskinan di berbagai wilayah. ''Daerah miskin paling rawan pemurtadan,'' ujar Ketua Umum Forsap, Nurdiati Akma.

Persinggungan Forsap dengan pemurtadan dimulai sejak tahun 2001. Saat itu, sebuah kelompok pengajian anggota Forsap di daerah Pondok Labu mengeluhkan jumlah jamaahnya yang menyusut drastis tiap Sabtu. Biasanya, pengajian sepekan sekali itu selalu dibanjiri jamaah Muslimah.

Selidik punya selidik, kaum ibu di wilayah miskin itu lebih tertarik mendatangi "pengajian" tandingan yang diadakan sebuah organisasi agama lain. Tiap Sabtu, mereka menggelar bazar murah, pengobatan gratis, dan pembagian sembako.

Bahkan, kelompok itu juga menggaji beberapa ibu untuk mengumpulkan anak-anak yatim/dhuafa untuk dikirim ke panti asuhan yang mereka kelola. Untuk setiap anak yang berhasil dibujuk, si ibu akan memperoleh uang Rp 10 ribu.

''Saat kami datang, sudah 35 anak yang dikirim ke panti itu,'' kata Nurdiati. Maka ia mendatangi panti itu untuk "menebus" kembali anak-anak Muslim itu. Ia terhenyak ketika menemui para pengelola panti adalah Muslim yang telah dimurtadkan sejak kecil. ''Nama-nama mereka adalah nama-nama Islam, seperti Chaerudin, Hafsah, dan Aminah, tetapi mereka telah menjadi penganut taat agama lain.''

Di daerah itu, Forsap lantas membeli sebidang tanah seluas 150 meter. Di atas tanah itu didirikan bangunan semi permanen untuk panti asuhan, klinik gratis, dan majelis taklim. Pengajian Sabtu kembali didatangi jamaah.

Forsap resmi berdiri pada bulan Desember tahun 2001. Musyawarah kerja nasional (Mukernas) pertama digelar tahun 2003 dihadiri 2.500 majelis taklim dari 12 provinsi yang menjadi anggotanya. Kini organisasi ini sudah berkembang ke 19 provinsi. Bila semula penyelamatan akidah anak yang dikedepankan, kini mereka menggarap tiga sasaran. ''Selain anak-anak, juga kaum wanita dan petani miskin,'' tambah Nurdiati.

Petani menjadi target setelah mengamati kehidupan mereka yang termiskinkan di Cianjur. ''Di salah satu produsen beras di Indonesia itu, kebanyakan petani hanya sebagai buruh penggarap saja,'' ujarnya. Di beberapa tempat, Forsap mulai mengembangkan pertanian organik bersama dengan mahasiswa dan LSM lokal. Pertanian organik ini antara lain dikembangkan di Cianjur, beberapa tempat di Sumatera Barat, dan beberapa daerah di Jawa Tengah.

Banyak kegiatan yang ingin digarap, tapi masalah klasik selalu menghadang, yaitu pendanaan. ''Selama ini kami bergotong royong di antara sesama pengurus, dan mengandalkan sumbangan donatur,'' ujar Nurdiati. Mereka juga menjalin sinergi dengan lembaga lain, semisal Aisyiyah, organisasi wanita di bawah Muhammadiyah. ''Di beberapa daerah, anak-anak yang berhasil kita selamatkan dari upaya pemurtadan kita titipkan di panti-panti asuhan yang dikelola Aisyiyah,'' ujarnya.

Upaya penyelamatan akidah ini makin dipertajam sesuai putusan Mukernas ketiga yang digelar awal Bulan ini. ''Kita mengusahakan agar di tiap provinsi mempunyai posko, terutama di daerah-daerah kantong pemurtadan,'' ujarnya. Selain itu, mereka juga akan terus memperluas jaringan. ''Mimpi kami, semua anak Muslim yang kini berada di panti-panti non-Muslim bisa kembali kita asuh,'' ujar Nurdiati. Jalan masih panjang bagi Forsap. ( tri )

Sumber Republika

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More