Pilih Bahasa

Powered By Blogger

Jumat, 18 Juni 2010

Charisal Manu Kepala BPS Alor seorang Aktivist Gereja Jadi Tersangka Pelecehan Al Quran

Kasus penghinaan al-Qur’an di Alor, Nusa Tenggara Timur, berjalan nyaris tanpa pembelaan dari umat Islam Indonesia. Jika di Guantanamo saja kita bergerak, kenapa yang terjadi di negeri sendiri tidak?

Pekan lalu, SABILI yang berkali-kali menyambangi kantor Polisi Resort Alor, berkali-kali pula harus kecewa. AKBP Marsudi Wahyuono, Kapolres Alor, begitu susah ditemui untuk menjawab pertanyaan seputar pelecehan al-Qur’an di wilayah hukumnya. Alasan terakhir yang sampai ke SABILI adalah, Kapolres sedang berada di luar daerah. Wakapolres, yang ditemui SABILI pun hanya memberikan jawaban sekadarnya. Menurutnya, sebagai wakil, dirinya tak berwenang memberikan jawaban yang bersifat publikatif. “Yang berwenang Kapolres,” ujarnya singkat. Dan dengan begitu, usaha menemui Charisal Manu, Kepala BPS, tersangka penghinaan atas al-Qur’an, menemui jalan buntu.

Kepolisian mengatakan, Charisal Manu tidak bisa ditemui, bahkan untuk wawancara sekali pun, karena alasan keamanan.

Tak hanya Kapolres Alor yang begitu susah ditemui, Bupati Alor pun seperti tak terjamah. Sampai tulisan ini diturunkan, SABILI belum berhasil menjumpai Bupati Alor, Ir Ansgerius Takalapeta. Petugas protokoler kabupaten mengatakan, bupati juga sedang berada di luar kota.

Keterangan serba sedikit, keluar dari Kejaksaan Negeri kabupaten Alor, Mangisi Sitangang, SH, yang belum genap setahun bertugas di Alor. Kepada SABILI ia mengatakan enggan jika pernyataannya direkam. Ia lebih memilih obrolan ringan saja, daripada sebuah wawancara. “Jika ada yang melecehkan al-Qur’an, kitab saudara-saudara Muslim, saya sebagai umat Katolik ikut pula merasakan sakit hati. Sebaliknya, jika ada yang melecehkan Alkitab, saudara-saudara Muslim juga saya kira turut tersentuh,” ujarnya pada Tamrin Koho, dari SABILI.

Keengganan dan susahnya para petinggi di Alor untuk dikonfirmasi, tampaknya sebuah tanda tersendiri atas perjalanan kasus pelecehan al-Qur’an. Di Kejaksaan misalnya, berkas-berkas yang telah dilimpahkan, dikembalikan lagi dengan alasan kurang bukti dan belum cukup persyaratan. Bahkan, menurut Kejaksaan Negeri Kalabahi, belum ada barang bukti yang diserahkan dari polisi. “Pengembalian berkas itu wajar, kami masih menunggu kelengkapan dari kepolisian,” ujar Mangisi.

Kasus ini bermula dari sebuah buku yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Alor. Pada cover buku tersebut, nampak sebuah foto seorang penari Cakalele, sebuah tarian perang, lengkap dengan atribut perangnya, menginjak-injak sebuah buku tua, yang diduga adalah manuskrip al-Qur’an kuno di Alor Besar.

Adalah Prayudho Bagus Jatmiko, seorang staf kantor BPS Alor yang mengendus aroma pelecehan ini pertama kali. Pada 4 Juni 2005 lalu, Prayudho mendapat tugas untuk menyiapkan tampilan depan sebuah buku laporan BPS. Ruang kerja atasannya, Kepala BPS, Charisal Manu, menjadi posko penggarapan proyek ini.

Saat membuka komputer, beberapa nama file sempat dilihat oleh Prayudho. Salah satunya adalah sebuah file dengan subyek cover dengan judul Penduduk Kabupaten Alor 2004 yang dikerjakan dalam program free hand. Nampak oleh Prayudho, dalam gambar cover yang siap cetak tersebut sebuah gambar seorang penari Cakalele yang menginjak-injak sebuah buku tua.

Mendapati sesuatu yang ganjil, Prayudho langsung menanyakan pada atasannya, Charisal Manu, apakah buku ini sudah diterbitkan. “Belum, nanti covernya akan diganti dulu. Sebab, itu buku kuno, nanti orang yang punya buku ini marah kalau melihat bukunya dibikin seperti ini,” ujar Charisal kala itu seperti dicantumkan Prayudho dalam kronologis yang dibuatnya.

Sehari berselang setelah dialog itu, Charisal Manu dikabarkan terbang menuju Makassar untuk mengikuti kegiatan sebuah gereja. Meski Charisal Manu telah mengatakan cover buku tersebut akan diganti, nyatanya, pada 6 Juni 2005, Prayudho menemukan sebuah buku yang telah tercetak dan siap edar dengan gambar cover sama persis dengan yang ia temukan dalam file komputer. Hari itu juga, terjadi diskusi dan pembahasan kecil di antara karyawan BPS Alor untuk memastikan apakah gambar dalam cover tersebut al-Qur’an atau bukan.
Untuk memastikan, Prayudho melacak dan membuka kembali file digital tersebut, lalu memperbesar gambarnya. Dan hasilnya, sungguh sebuah tamparan luar biasa. Yang berada di ujung kaki penari Cakalele dan sedang diinjak-injak tersebut, dipastikan adalah al-Qur’an. Dugaan Prayudho dan kawan-kawan, cover buku tersebut bikinan Charisal Manu sendiri, seorang aktivis gereja yang kini menjabat sebagai Kepala BPS Alor.

Gelegak kemarahan seolah tak tertahan di antara Prayudho dan karyawan Muslim BPS Alor lainnya. Dengan menahan emosi, Prayudho dan seorang pegawai BPS lainnya, Abdullah Igo, menghadap H Amir Tahir, Ketua Majelis Ulama Indonesia wilayah Alor. Kepada Amir Tahir, Prayudho meminta agar Ketua MUI tersebut membaca dan menyelidiki apa yang tertera di dalam mushaf tua itu. Tapi karena memang terlalu samar, Amir Tahir gagal mengetahui.

Tak kehilangan akal, Amir Tahir memberikan mandat pada Prayudho dan Abdullah Igo untuk melakukan penyelidikan secara mendalam. Abdullah Igo pun bergerilya menuju Museum Kalabahi tempat menyimpan replika mushaf al-Qur’an Alor Besar itu. Tapi foto replika ini pun masih belum cukup memberikan bukti. Keesokan harinya, berbekal selarik foto replika dan buku terbitan BPS, beberapa elemen umat pergi ke Alor Besar untuk menyelidiki dan membandingkan langsung dengan mushaf asli yang diyakini peninggalan Kerajaan Islam Ternate. Dan lagi-lagi, semua yang hadir kala itu, MUI Alor, Imam Masjid dan juga anggota masyarakat, dibuat seperti tersengat aliran listrik tegangan tinggi. Mereka menemukan, gambar yang terdapat dalam cover buku BPS tersebut, sama persis dengan mushaf kuno pada bagian surat at-Taubah ayat lima.

“Apabila habis bulan-bulan haram, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Demikian arti surat at-Taubah ayat lima itu.

Bagi Prayudho dan beberapa orang yang hadir kala itu, tentu saja ini bukan sekadar kebetulan. Ayat perang yang sedang diinjak-injak oleh Cakalele, sebuah tarian perang. Bukan saja sebuah pelecehan, tapi bisa punya maksud lain. apakah ini sebuah provokasi untuk umat Islam?

Sejak itu, beberapa penyelidikan secara intensif dilakukan berbagai komponen umat Islam. Tujuannya tidak lain, untuk memastikan dan jangan sampai ini sekadar menjadi pemicu emosional. Dan lagi-lagi bisa dipastikan, bahwa yang berada di ujung kaki penari Cakalele tersebut, tak lain adalah al-Qur’an.

Berbekal hasil penyelidikan, 13 Juni 2005, beberapa komponen dan tokoh umat Islam merumuskan pernyataan sikap di Masjid Al fatah, Wetabua. Namun, belum lagi rumusan sikap itu selesai, massa sudah pecah di jalan untuk menyatakan protes atas pelecehan al-Qur’an tersebut. Berbagai seruan dan slogan jihad dikumandangkan. Dan kian sore, jalan-jalan sudah dibanjiri oleh ribuan umat Islam.

Suasana begitu mencekam sore itu. Laki-laki, perempuan, tua dan muda, melimpah di berbagai sudut kota meneriakkan rasa tak rela atas penghinaan pada kitab suci. Massa berhasil ditenangkan ketika Ramlan Rasyidi, Ketua Ikatan Dai Indonesia untuk wilayah Alor, yang juga Lurah Wetabua, sebuah desa Muslim yang disegani, meminta umat Islam untuk tenang dan menyerahkan penyelesaiannya pada aparat keamanan.

Suasana kian panas saat penjemputan Charisal Manu di Bandara Mali. Bahkan ketika sampai di kepolisian pun, suasana kian tak terkendali setelah seorang pemuda yang ingin memastikan Charisal Manu ditahan, dipermak oleh aparat kepolisian. Dan seketika, pecah amuk massa. Di berbagai perempatan jalan, sudah nampak ban-ban bekas dibakar dan menjadi api unggun.

Bahkan, pada 16 Juni 2005, telah terjadi perkelahian massa antara para pemuda Sawah Lama, perkampungan Muslim dengan pemuda-pemuda dari Batutanata, perkampungan Kristen. Untuk meredam aksi rusuh massal, Jumat, 17 Juni 2005, tokoh dan pimpinan umat mempersiapkan aksi damai untuk memprotes kasus Charisal Manu di Masjid Babul Jihad, Wetabua. Keesokan harinya, puluhan ribu umat Islam kembali tumpah ke jalan. Berparade membagikan pernyataan dan selebaran di setiap kantor yang dilewati, termasuk Kantor BPS.

Selang sehari, terjadi teror yang tak diduga-duga pada Abdullah Igo dan Syaaban Boro, staf Muslim BPS yang turut melakukan investigasi kasus ini. Rumah Abdullah Igo dan Syaaban Boro dilempari oleh orang tak dikenal. Selama tiga hari berturut-turut. Prayudho sendiri mendapat teror lewat telepon dari nomor seluler yang tak ia kenal. Ada pula teror yang mengatakan, akan ada kepala yang hilang apabila Charisal Manu dicopot atau dipindahkan.

Setelah itu, beredar isu, spanduk tuntutan pada Charisal Manu yang dipasang di depan kantor BPS dicopot paksa. Hal ini menyulut kemarahan umat Islam Alor yang langsung mendatangi kantor BPS, sehingga terjadilah aksi pelemparan hingga hari gelap. Para pemuda di berbagai perkampungan Muslim telah bersiaga dalam situasi malam yang menegangkan.

Tapi, seolah hendak benar-benar memancing emosi, Bupati Alor malah membuat pernyataan yang menggusarkan. Lewat sebuah media massa, Bupati Alor Ans Takalapeta mengatakan, “Gambar dalam sampul buku terbitan BPS Kabupaten Alor, hanya ekspresi seni belaka.” Tentu saja pernyataan ini kian membuat umat Islam Alor gerah.

Mungkin karena khawatir terjadi respon atas pernyataan Bupati, beberapa PNS nampak membagikan uang sebesar Rp 400.000 pada pengurus dan remaja masjid. Konon, uang ini disebut sebagai tanda terima kasih telah melakukan aksi damai dan menjaga ketenteraman kota. Namun, para pengurus dan remaja masjid yang menerima dana tak jelas tersebut, mengumpulkannya kembali dan menyerahkannya pada polisi. Sebuah aksi penyuapan?

Apapun itu, tanpa harus disuap dengan uang pun, pada hakikatnya umat Islam ingin memelihara perdamaian. Tapi, tentu saja bukan tanpa syarat. Sebuah syarat sederhana, jangan lagi memancing emosi, apalagi melakukan provokasi. Sebab, jika al-Qur’an dan akidah yang telah dilecehkan, umat Islam tak akan tinggal diam. (Sabili) Tamrin Koho (Alor), Herry Nurdi

Kepala BPS Alor Jadi Tersangka Pelecehan Al Quran


Senin, 20 Juni 2005 : TEMPO Interaktif, Kupang:Polisi menetapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Alor Ir. CAM sebagai tersangka dan sementara menjalani penahanan di Mapolres setempat dalam kasus dugaan pelecehan kitab suci Al Quran.

CAM dianggap paling bertanggung jawab dalam penerbitan dan peredaran buku berjudul “Penduduk Kabupaten Alor 2003.”

Pada sampul bagian depan buku yang berisi statistik penduduk tersebut, terdapat seorang penari Cakalele berdiri di atas sebuah buku mirip Al Quran.

Kapolres Alor, Ajun Komisaris Besar Polisi Marsudi Wahyono, kepada wartawan di Kalabahi, Senin (20/6), mengatakan penetapan tersangka dan penahanan terhadap kepala BPS dilakukan setelah pihaknya berhasil mengumpulkan bukti-bukti.

Kepolisian juga berencana akan meminta keterangan saksi ahli dari Departemen Agama untuk meneliti sampul buku yang dinilai telah melecehkan kitab suci umat Islam itu. Wahyono menambahkan, pihaknya telah menarik sebagian besar buku yang telah beredar.

“Sesuai keterangan yang diperoleh, buku yang dicetak jumlahnya terbatas hanya 20 eksemplar,” katanya. Beberapa saksi yang turut diperiksa yakni pengusur MUI Kabupaten Alor serta beberapa staf BPS.
jems de fortuna

Muslim Alor Protes Buku BPS


Sabtu, 18 Juni 2005 : TEMPO Interaktif, Alor:Ribuan umat Muslim di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur melakukan aksi unjukrasa di Gedung Pengadilan Negeri Kalabahi, Sabtu (18/6). Mereka menuntut pemerintah setempat menarik peredaran buku statistik berjudul "Penduduk Kabupaten Alor" tahun 2003 dan dimusnahkan.

Buku yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Alor tersebut, pada sampul depannya terdapat gambar manusia berdiri di atas buku, mirip Kitab Suci, Al-Quran. Aksi massa itu berlangsung damai,di bawah kendali dan pengawalan ketat polisi.

Masyarakat Islam Kabupaten Alor mendesak agar aparat keamanan segera mengambil sikap dengan cara meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap buku itu. Mereka menilai penerbitan buku yang melecehkan kitab suci Quran sebagai perbuatan terkutuk. Tuntutan lainnya yakni meminta aparat keamanan segera menahan Kepala BPS berinisial Ir. CMAM.

Kapolres Alor, Ajun Komisaris Besar Murzadi, menyatakan akan segera mengambil tindakan. Namun, sampai saat ini, belum ada oknum pejabat yang dimintai keterangan berkaitan dengan penerbitan buku tersebut. Meski demikian, ia mengakui, gelombang protes terus mengalir sejak Jumat dan Sabtu. "Kepolisian akan segera mengusut tuntas kasus ini. Mungkin dalam waktu satu atau dua hari lagi, polisi akan meminta keterangan pihak terkait," kata Murzadi.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTT, Abdul Kadir Makarim, berharap umat Islam bisa menahan diri dan tidak terpancing perbuatan anarki. "UmatIslam Alor tidak bersikap berlebihan dalam menanggapi persoalan tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada aparat keamanan untuk mengambil tindakan,"katanya.

Makarim menyesalkan sikap dan perilaku pejabat Kabupaten Alor yang tidak mengindahkan toleransi dan sikap saling menghormati antar umat beragama. "Apabila benar ada pelecehan maka perilaku pejabat yang membuat buku seorang barbar yang tidak senang akan kedamaian dan persaudaraan yang rukun,"katanya. Ketua MUI Alor, Amir Tahir, sepenarian dengan MUI NTT, menyerahkan kasus itu para polisi. "Kami minta masyarakat memasrahkan masalah ini kepada aparat keamanan untuk mengambil tindakan. Kami minta Kepala BPS diproses secara hukum,"katanya.

Muspida Kabupaten Alor, langsung menggelar rapat khusus. Salah satu keputusan rapat yakni meminta kepolisian segera mengusut tuntas kasus tersebut. Rapat dihadiri seluruh Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), pejabat, tokoh agama dan tokoh masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More