Tubuh Kejang, Lalu Meneriakkan Kata "Yesus!"
Hari Jumat, 4 Oktober 2002. Fitri (bukan nama sebenarnya -red) bergegas menuju kampus Politeknik Pertanian Universitas Andalas, Payakumbuh (Sumbar). Sampai di ruang kuliah, mahasiswi berjilbab ini segera mengambil tempat duduk. Dosen belum datang. Teman-temannya tampak sibuk sendiri, mengisi waktu luang. Ada yang ngobrol, menulis, membaca, ada pula yang iseng menjahili temannya.
Suana hiruk pikuk ruang kuliah di Kampus Tanjung Pati itu tiba-tiba terhenti. Bukan karena dosen datang, tapi akibat teriakan seorang akhwat (sebut saja Suci). Dia mengerang, tampak kesakitan. Nafasnya memburu, wajah pucat, tubuh penuh keringat. Tubuh Suci segera dibopong ramai-ramai. Kedua tangan Fitri turut ambil bagian. Suci dibawa ke ruang Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala), tak jauh dari ruang kuliah.
Teriakan Suci makin keras saja. Tubuhnya segera dibaringkan. Fitri memegang kaki Suci, berusaha menggerak-gerakkannya. Kembali akhwat itu mengerang. Matanya melotot. Mulutnya memaki-maki tak karuan.
Fitri sendiri merasakan ada energi aneh dari kedua kaki akhwat karibnya itu. "Rasanya seperti kena setrum listrik," kenang Fitri.
Namun akhwat berusia 19 tahun ini berusaha tenang. Fitri bahkan berusaha membimbing temannya yang terus mengerang, agar melantunkan lafadz dzikir. "Ayo, sebut asma Allah!" pintanya.
Upaya itu ternyata belum bisa memperbaiki keadaan. Suci terus mengejang dan mengerang. Beberapa teman segera mengganti posisi Fitri yang tampak kecapaian, memegangi kaki Suci.
Fitri meninggalkan ruang Mapala yang mulai terasa pengap. Tubuhnya yang terasa lelah masih dibasahi keringat. Tiba-tiba akhwat ramah ini ingin menangis, keras. Entah apa sebabnya, pokoknya ingin menangis.
Badan Fitri bergetar. Beberapa detik kemudian tubuh semampainya limbung. Merasa tak kuasa menahan jasadnya yang seakan bertambah berat, Fitri menyandarkan diri di bangku Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Setelah itu, pandangan terasa gelap. "Entah apa yang terjadi setelah itu. Tapi sekilas saya mendengar teman-teman ribut dan tubuh saya ramai-ramai digotong," ujar Fitri sembari terisak.
Fitri juga mendengar, teman-teman mengajaknya berdzikir. Lantunan asma Allah itu samar-samar terdengar, dan Fitri berusaha keras menirukannya. Aneh, yang terdengar teman-temannya bukan ucapan dzikir tetapi, "Yesus…Yesus!"
Erangan dan teriakan Fitri kian menjadi-jadi. Omongannya makin tak terkontrol. Kalau disuruh dzikir, Fitri malah menghardik, "Kalian anjing! Yang benar adalah Yesus!"
Tak urung, teman-temannya dibuat pusing tujuh keliling. Sampai-sampai ada seorang mahasiswi yang menyetel kaset murattal keras-keras agar Fitri mendengar lantunan ayat-ayat Allah. Beberapa saat kemudian, barulah Fitri berangsur-angsur tenang. Teriakannya tak lagi garang.
****
Kejadian di hari Jumat itu masih tertancap dalam di benak Fitri sampai kini. Perasaanya pun dihinggapi rasa dosa tak terkira karena telah mengumpat dan menghardik rekan-rekan karibnya. Meski, itu semua di luar kendali.
Yang lebih mengejutkan, ternyata tak cuma Fitri dan Suci yang mengalaminya. Sebanyak 21 mahasiswa/i lain mengalami peristiwa serupa. Jadi, ada 23 orang!
Kejadian yang sungguh aneh. "Saya tidak tahu, apakah itu yang namanya pemurtadan dengan cara hipnotis?" Fitri bertanya kepada dirinya sendiri.
Jarum jam memorinya segera diputar ke belakang. Ya, ia teringat kejadian sehari sebelumnya.
Ketika hendak meninggalkan kampus, Fitri berpapasan dengan Robert (bukan nama sebenarnya -red). "Kamu lihat temanku apa tidak?" tanya Robert sambil menyebut sebuah nama.
Mahasiswi Politeknik semester 3 ini bingung. Pasalnya, teman yang ditanyakan itu justru sedang jalan bersama Robert. Kebingungan itu membuat Fitri tak sempat mengucapkan sepatah katapun. "Aneh kan, masak teman di sampingnya ditanyakan?"
Meski tak dapat jawaban, Robert tak mengulangi pertanyaan itu. Dia justru menatap dalam-dalam sehingga Fitri agak salah tingkah. Matanya tajam, menusuk, seperti mata elang.
Melihat gelagat yang kurang baik, Fitri bergegas meninggalkan kedua temannya. Dia menuju angkutan kota yang tengah berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Sejurus kemudian tubuhnya sudah berbaur dengan penumpang.
Matanya mengerling ke arah Robert, sekilas. Ternyata mata elang itu masih mengawasinya. Makin tajam.
Apakah kejadian itu yang mendatangkan petaka di hari berikutnya? "Wallahu a'lam," Fitri menggeleng sambil mengangkat pundaknya.
Yang jelas, setelah Jumat kelabu itu, Robert tampak kikuk bila bertemu. Begitu pula teman-teman Fitri yang lain, karib Robert, yang sama-sama beragama Kristen. Sekadar senyum pun tak pernah tersungging dari mulut mereka.
Fitri sendiri lama-lama merasa tak enak hati. Maklum, pergaulannya selama ini terjalin cukup akrab. Bagi Fitri, Robert dan kawan-kawan adalah teman kuliah yang tak beda dengan lainnya. Itulah sebabnya, Fitri memberanikan diri untuk duluan menyapa.
Namun tanggapan Robert tampak dingin-dingin saja. Yah, apa boleh buat. Fitri segera berlalu, meninggalkan temannya yang kini menjelma menjadi sosok misterius itu.
Empat hari kemudian terdengar kabar bahwa Robert mau pindah kuliah. Entah kemana. Salah seorang teman memberi kabar kepada Fitri, katanya Robert mau minta maaf. "Mau minta maaf tentang apa?" tanya Fitri dalam hati.
Sampai saat ini, benak Fitri masih diliputi tanda tanya. Apa mau Robert? Kenapa dia menatap secara misterius? Kenapa Fitri dan teman-temannya mengalami kejadian aneh? Kenapa dirinya sampai bisa mengeluarkan makian kotor dan berteriak-teriak memuji Yesus? Kenapa Robert mau minta maaf?
"Wallahu a'lam!" Fitri menggeleng, lagi-lagi sambil mengangkat pundaknya.*
Diadaptasi dari dokumen Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Padang, oleh Dodi dan Pambudi dari Hidayatullah
Hantu Pemurtadan Gentayangan di Sekolah
Jangan terkecoh dengan penampilan sekolah umum. Bisa jadi itu adalah sekolah Nasrani yang terselubung
Anda yang saat ini sedang sibuk mencari sekolah untuk putra-putri tercinta, waspadalah! Baru-baru ini, tim Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (Fakta) “mengamankan” 50-an Injil dari SMP dan SMK "Bina Kusuma" di Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Kitab-kitab itu diperoleh dari siswa/i beragama Islam yang sekolah di lembaga swasta tersebut. “Sekolah itu tampil dengan status swasta umum, tidak sebagai sekolah Kristen,” kata Abu Deedat Syihabuddin, Sekjen Fakta.
Metode Kristenisasi lewat sekolah kini menjadi trend baru. Yaitu melalui sekolah-sekolah swasta yang sebenarnya menyembunyikan misi pemurtadan. Akibatnya, banyak ummat Islam yang terkecoh. “Maunya menyekolahkan anak di sekolah swasta, eh... ternyata itu punya misionaris atau zending,” lanjut Abu Deedat.
Sekolah swasta semacam ini pada mulanya tak segan mengangkat guru-guru Muslim. Bahkan sebuah sekolah di daerah Bintara, Bekasi (Jawa Barat), sengaja mengangkat mantan guru madrasah menjadi kepala sekolahnya. Maksudnya, agar kaum Muslimin di sekitarnya tak ragu untuk menyekolahkan anaknya di sana.
Namun sang kepala sekolah tersebut kini telah didepak, diganti yang beragama Nasrani. Beberapa guru Muslim pun mengalami nasib yang sama. Nama sekolah berubah, menjadi lebih tampak nuansa Nasraninya. Pelajaran agama Islam ditiadakan.
Modus operandi semacam itu juga terjadi di wilayah Yogyakarta. Sekolah-sekolah Nasrani biasanya “membungkus” dirinya dengan nama-nama yang kental Jawa-nya, seperti Marsudi Luhur, Pangudi Luhur, Sanjaya, Widodo, dan semacamnya. Bahkan ada sebuah taman kanak-kanak di Pakem (sekitar 15 km arah utara Yogyakarta) beridentitas TK “ABA”, padahal itu lembaga pendidikan Nasrani. Selama ini, menyarakat mengetahui nama TK “ABA” selalu identik dengan taman kanak-kanak yang dikelola Muhammadiyah.
Saat ini ada sekitar 1300 siswa/i Muslim di Yogyakarta yang terjebak di sekolah Nasrani. Diduga mereka bahkan mereka telah murtad.
Tidak mengherankan, sebab sekolah swasta seperti di atas memang mengemban semangat “dakwah” sebagaimana lembaga pendidikan Nasrani pada umumnya. Sekolah Katolik misalnya, akan selalu berpedoman kepada Surat Kongregasi Pendidikan Katolik yang mengemban misi pemurtadan.
Dalam Kongregasi Nomor 35, disebutkan bahwa tujuan sekolah ini adalah “... membangun manusia seutuhnya, karena di dalam Kristus, manusia sempurna, semua nilai manusia dipenuhi dan disatukan. Di sinilah letak ciri khas Katolik dari sekolah”.
Hal serupa tercantum pada nomor 45. Yaitu “Sekolah Katolik mempunyai tugas khusus membentuk murid-muridnya menjadi Kristen seutuhnya...”
Pengajian Bersama
Hantu pemurtadan juga gentayangan di kampus-kampus. Infiltrasinya lebih halus, misalnya dengan mengadakan kajian bersama lintas agama. Salah satunya yang diselenggarakan oleh Forum Stafuka, sebuah kelompok diskusi yang didirikan tanggal 19 April 2000 atas kerjasama Sekolah Tinggi Teologi (STT) Apostolos Jakarta dan HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dalam situsnya di internet, Stafuka mengaku beranggotakan lima perguruan tinggi. Yaitu STT Apostolos Jakarta, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, dan Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri.
Sementara itu Drs Amal Fathullah Zarkasyi, MA, Pembantu Rektor III ISID, PM Darussalam Gontor membantah pihaknya menjadi anggota Forum Stafuka, dan menyatakan dengan tegas lembaganya anti Kristenisasi dan anti segala bentuk pemurtadan lainnya.
Selain mengadakan kajian bersama, Stafuka juga rutin mengadakan Pekan Komunikasi Agama-agama (PEKA). Acaranya meliputi doa bersama, pentas seni, teater, dan talkshow. PEKA 1 telah berlangsung di Aula Serba Guna dan Aula Madya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1-2 Juni 2001). PEKA 2 berlangsung di Aula IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (9-13 November 2001).
Pada tanggal 21 dan 23 Oktober 2002, Stafuka menggelar "Pengajian Kristologi" di kampus UIN Syarif Hidayatullah. Bertindak sebagai narasumber adalah KAM Jusuf Roni, seorang pendeta yang selama ini reputasinya sudah cukup kesohor sebagai penghina Islam. "Saya heran, Jusuf Roni kok bisa jadi pembicara di lembaga pendidikan Islam," kata Abu Deedat.
Memang, para mahasiswa UIN, ISID, IAIT, dan IAIN itu masih mengaku beragama Islam. Namun di mata Abu Deedat, mereka hakikatnya sudah murtad. Arti murtad di sini tidak cuma sebatas pada keluar dari agama Islam. "Orang yang telah mengalami pendangkalan aqidah sehingga menganggap bahwa semua agama itu sama benarnya, tergolong murtad juga. Mereka ini sering mengadakan doa bersama, pengajian bersama, dan ritual yang campur aduk dengan berbagai agama.”
Misi pemurtadan secara halus semacam ini digerakkan oleh empat tokoh utama. Pertama, Pendeta KAM Jusuf Roni. Rektor STT Apostolos ini gencar menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan Islam, termasuk pesantren.
Kedua, Bambang Noorsena. Ini adalah pentolan Kristen Ortodoks Syiria (KOS). Dalam hal ritual dan pakaian, orang-orang KOS sangat mirip dengan kaum Muslimin. Di sekitar kawasan Surabaya, banyak orang yang terkecoh dibuatnya.
Ketiga, Pendeta Josias Lengkong. Pimpinan Sekolah Teologi Kalimatulloh Jakarta ini sehari-hari tampil memakai peci. Kalau pas acara wisuda, dosen dan mahasiswanya tampil serupa. Tak beda dengan wisuda anak-anak TPA.
Keempat, Pendeta Eddy Sapto. Yang satu ini lebih berkonsentrasi menggarap kalangan lapis bawah, seperti buruh, petani, dan pengangguran. Setahun lalu Eddy Sapto ketahuan menyekap puluhan orang untuk dimurtadkan. Mereka dijanjikan lapangan kerja lewat Yayasan Dian Kaki Emas Bekasi. Ternyata bukan pekerjaan yang diterima, tetapi Injil dan pelarangan shalat.
Sekolah atau lembaga pendidikan hanyalah salah satu wahana pemurtadan. Masih ada 1001 sarana dan cara lain. Mereka mengepung kaum Muslimin dari segala penjuru. Caranya beragam, mulai dari pembagian peralatan sekolah, bantuan beasiswa, janji lapangan kerja, sampai hipnotis.
Tampaknya gerakan itu cukup berhasil. Salah satu indikasinya, laju tumbuh ummat Islam di Indonesia cenderung stagnan. Berdasar data yang dihimpun Fakta, pertumbuhannya cuma 2,75% per tahun. Bandingkan dengan ummat Katolik yang mencapai 4,6%, atau dua kali lipat pertumbuhan penduduk (2,34%). Sementara ummat Protestan meningkat 4,5%, Hindu 3,3%, dan Budha 3,1%.
Survei antar sensus Biro Pusat Statistik tahun 1990 menunjukkan, ummat Islam mencapai 87,5% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 200-an juta jiwa. Namun pada tahun 1999 persentase itu menurun drastis, menjadi cuma 75%.
Jadi, jangan terlena dengan sebutan mayoritas, atau negeri Muslim terbesar di dunia!
(Masjidi, Bachroni, Jumari, Pambudi)
Sebungkus Supermi di Gereja Dekat Sekolah
Kata "Allah" (dengan lafal 'Alloh') agak sulit diucapkan oleh anak-anak Muslim di Balang Buki, sebuah kampung terpencil yang berjarak 13 km dari Malino (Sulsel). Mereka lebih fasih mengucap "Tuhan Allah" (dengan lafal 'Alah') atau "Yesus Kristus".
Saban hari, mereka memang dididik oleh guru-guru yang tidak pernah memperkenalkan kata yang tepat untuk itu. Maklum, tunas-tunas muda itu sekolah di SD Bala Keselamatan (BK). Semua guru beragama Kristen. Anak-anak pun tak pernah tahu kalau mereka sebenarnya punya hak mendapat Pelajaran Agama Islam.
Mau bergantung kepada orangtua, susah juga. Bapak-ibu jarang ke masjid atau ikut majelis ta'lim. Saat shalat Jumat saja baris shaf-nya maksimal cuma 2. Sekitar 25 orang lah. Padahal masjid di Balang Buki cuma ada satu. Bandingkan dengan jumlah penduduk Muslimnya yang mencapai 700-an jiwa.
Kalau gereja malah ada dua. Yaitu Gereja Bala Keselamatan dan Gereja Jemaat Paunna Baji. Padahal jumlah pemeluk Kristen cuma ada 14 KK. Sebagian di antaranya adalah mantan Muslim, yang terpesona dengan buju rayu aktivis gereja.
Bagi warga pegunungan yang sering tertutup kabut ini, SD BK adalah pelita di tengah kegelapan. Sekolah yang dirintis sejak tahun 1970 ini menjadi satu-satunya lembaga pendidikan di sana. Untunglah sejak tahun 1990 lalu pemerintah mendirikan SD Inpres. Kini malah sudah ada Madrasah Ibidaiyah. Namun pesona SD BK rupanya terus membekas di hati warga, sampai saat ini.
Fasilitas yang disediakan SD BK memang terasa wah. Gurunya disiplin, karena konon gajinya cukup tinggi. Para siswa sesekali dapat uang saku, bantuan beras, pakaian, sampai Supermi. "Itu diberikan kalau anak-anak pergi ke gereja yang letaknya bergandengan dengan sekolah," kata seorang warga, sebut saja Muhtadin, yang juga alumnus SD BK.
Siapapun yang sekolah di sini tak dipungut biaya. Berbeda dengan sekolah-sekolah di kota yang memakan dana berjuta-juta. "Di sini cuma-cuma. Gratis," kata Yosef Suparmin (56), salah satu guru yang juga seorang pendeta.
Menurut Yosef, sekolah dan organisasi Bala Keselamatan memang ingin membantu masyarakat yang kurang mampu. Bentuknya bermacam-macam, ada santunan untuk yatim piatu, bantuan kemanusiaan, beasiswa, dan pendidikan gratis. "Apa yang kami berikan untuk anak-anak Balang Buki adalah bagian dari itu," katanya.
Tentu saja warga Balang Buki yang sebagian besar cuma menjadi petani sayuran ini girang hati. Salah satunya dirasakan oleh keluarga Muhtadin. Begitu gembiranya sampai-sampai mereka terjerembab ke pelukan gereja.
Muhtadin pun cerita tentang pengalamannya sekolah di SD BK, yang kini juga dialami oleh putri tercintanya, sebut saja Nurul. Anaknya kini duduk di Kelas III SD BK.
Pelajarannya tak berbeda dengan sekolah pada umumnya. Cuma, tidak ada pelajaran Agama Islam meskipun mayoritas siswanya anak-anak Muslim. Saat ini jumlah siswanya ada 60, dan yang beragama Kristen cuma 9 orang.
Tiap mulai dan mengakhiri pelajaran, siswa/i diajak berdoa. Caranya dengan menundukkan kepala sekitar satu menit. Jadi, dengan cara doa ala Kristen, bukan Katolik. "Kalau cara Katolik kan tangannya harus menyentuh dahi, hidung, kemudian telinga kiri dan kanan," jelas Muhtadin.
Anak-anak juga sering mendapat foto kopian Injil. Guru-guru berpesan, foto kopian itu harus dipelajari baik-baik di rumah.
Tak mengherankan kalau siswa dan keluarganya lantas berbondong-bondong masuk Kristen. Termasuk Muhtadin, yang "dimandikan" saat umur 6 tahun oleh Pendeta Umar (kini sudah meninggal). "Saya disucikan dulu sebelum masuk Kristen," kenangnya.
Sejak itulah Muhtadin (yang berasal dari keluarga Muslim) tercatat sebagai pengikut Bala Keselamatan. Setelah menikah dan punya anak, otomatis keluarganya pun 100% Kristen. Anaknya yang lahir langsung dibaptis, agar suci. "Saya masih menyimpan surat pembaptisannya," kata istri Muhtadin.
Untuk memperlancar misinya, aktivis Bala Keselamatan tak cuma menggarap sekolah. Menurut Aliruddin, Kepala Desa setempat, pengerasan jalan sepanjang 5 km yang melintasi Balang Buki juga jasa mereka (1986). "Ini sangat membantu masyarakat yang sebelumnya harus berbecek-becek ketika hujan," ujarnya.
Warga ramai-ramai mengerjakan proyek itu. Selain agar kampungnya terasa nyaman, juga ada pembagian beras sebanyak 3 ton dan ratusan dus Supermi. "Kami jadi lebih semangat," kata salah seorang warga yang tak mau disebut namanya.
Otomatis, seiring mulusnya jalan Balang Buki, kian lancar pula laju Kristenisasi. Warga yang murtad terus bertambah, bahkan sempat mencapai 200-an orang.
Untunglah kegiatan para "gembala" agak bisa dikendalikan sejak 1995 lalu. Beberapa organisasi kemasyarakatan dan lembaga pendidikan Islam mulai datang. Warga Muslim yang telah murtad sedikit demi sedikit kembali mengucap syahadat. "Saya sekeluarga Alhamdulillah telah kembali ke pangkuan Islam sejak 3 tahun lalu," kata Muhtadin.
Kesadaran warga untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam atau sekolah negeri mulai tumbuh. Madrasah Ibtidaiyah Balang Buki kini cukup ramai, meski fasilitasnya masih kalah megah dibanding SD BK.
Kini, anak-anak Balang Buki tak kaku lagi melafalkan kata "Allah". Bahkan sangat fasih teriak "Allahu Akbar!" (Sarmadani/Pambudi)
"Saya Menyesal"
Saya sekolah di SMA Tarakanita 1, Jl Pulo Raya Jakarta Selatan, tahun 1993-1996. Tidak ada seorangpun yang menggiring saya untuk masuk ke sana. Jadi, itu murni kesalahan saya dan keluarga yang beragama Islam.
Kalau sudah masuk di situ, ya apa mau dikata. Hitam putihnya proses belajar mengajar menjadi hak tuan rumah. Seperti halnya di pesantren, Tarakanita punya misi dakwah sendiri sesuai identitasnya sebagai sekolah Katolik.
Tidak ada pelajaran agama selain Agama Katolik. Dalam pelaksanaanya, ada kelompok-kelompok tersendiri. Yang non-Katolik dipisah. Siswa/i Katolik pun terbagi dua, antara yang sudah dibaptis kedua dan yang belum.
Bagi siswa/i non-Katolik atau yang baru sebatas simpatisan, cuma diberi pelajaran etika. Misalnya etika kepada orangtua, kepada adik, kakak, teman, dan sebagainya. Tentu saja semua mengacu kepada nilai-nilai yang diajarkan dalam Bibel.
Murid yang sudah Katolik beneran (sudah dibaptis kedua -red), mendapat materi pelajaran agama yang mendalam. Barangkali seperti di pesantren atau lembaga pendidikan Islam ya, ada semacam pelajaran aqidah, fiqih, sirah, dan semacamnya.
Alhamdulillah, meski tiap hari bergaul dengan teman-teman non-Muslim, saya tidak terpengaruh. Padahal nilai pelajaran Agama Katolik saya mencapai 9 terus lho!
Teman-teman dan para suster pun sikapnya wajar-wajar saja. Tapi kalau pas berdoa, suaranya keras banget. Suster-suster itu kadang galak.
Seminggu sekali kami harus ikut misa. Untunglah sekolah saya itu letaknya jauh dari gereja sehingga ritual ini diselenggarakan di aula. Di sekolah lain yang sejenis, misanya selalu diadakan di gereja.
Jangan coba-coba membolos. Pasti dikejar-kejar dan dimarahi. Tapi kalau sudah berada di aula, kami bisa santai-santai saja kok. Tak usah mendengarkan acaranya. Mau sambil tiduran, baca komik, atau belajar Matematika, tidak masalah. Yang penting nongol.
Cukup banyak siswa/i beragama Islam yang wajib ikut misa. Di sekolah saya waktu itu, murid yang Muslim mencapai sekitar 40%. Paling banyak. Sekitar 15-20% lainnya non-Muslim sekaligus non-Katolik, seperti Kristen, Hindu, Budha dan Khong Hu Chu. Jadi kalau dihitung-hitung, yang beragama Katolik malah sedikit.
Dalam hal ibadah sesuai keyakinan yang dianutnya, sangat tergantung kepada siswa/i masing-masing. Sekolah tidak memberi alokasi waktu untuk beribadah. Kebetulan, pelajaran sudah usai pukul 12.30 WIB. Saya biasa shalat Dzuhur di mushalla yang letaknya bersebelahan dengan sekolah. Sepi, rasanya adem. Tapi saya sering diteriaki anak-anak kecil di dekat mushalla itu, katanya, "Ada orang Kristen masuk Islam.. ada orang Kristen masuk Islam!"
Barangkali ketekunan untuk tetap beribadah seperti itu yang membuat saya tidak goyah imannya. Teman-teman yang lain, saya tidak tahu.
Kalaupun ada siswa/i yang terpengaruh atau bahkan murtad, saya rasa bukan semata-mata faktor sekolah. Lingkungan pergaulannya juga berperan. Pelajaran agama tidak ada. Otomatis, anak-anak tidak pernah mendapat siraman ruhani yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Mereka juga tidak pernah ke masjid, tetapi lebih sering ke bioskop, kafe, atau diskotik. Apalagi kalau orangtuanya tak pernah memperhatikan pembinaan agama, tentu kondisinya akan semakin parah.
Tak heran bila banyak teman saya yang beragama Islam tapi tak bisa melafalkan kata "Alloh". Mereka lebih fasih mengucap "Allah". Bacaan Al-Fatihah juga tidak bisa karena memang tak akrab dengan mulutnya.
Tetapi kalau saya lihat, ada juga lho lembaga pendidikan Islam yang akhlaq siswanya lebih buruk dibanding sekolah saya yang notabene kafir. Jadi, saya kira kita tak bisa semata-mata menyalahkan siswa/i yang sekolah di lembaga pendidikan non-Islam. Lembaga pendidikan Islam juga harus mengoreksi diri dengan terus meningkatkan kualitasnya.
Namun tentu saja saya menyesal telah sekolah di lembaga semacam Tarakanita. Seorang teman bilang, uang sekolah yang selama ini dibayarkan oleh orangtua saya ternyata sebagian digunakan untuk misi Katolik. Ada yang untuk membangun gereja, biara, menyekolahkan pastur, suster, dan untuk menjalankan program Kristenisasi di desa-desa.
Astaghfirullah! Kalau ingat hal ini, saya langsung menangis. Tanpa sadar ternyata saya saya telah mendukung kegiatan pemurtadan terhadap saudara-saudara seiman. Dan itu berlangsung selama bertahun-tahun, dengan uang berjuta-juta.
Alhamdulillah, saat ini saya berkesempatan mendalami agama Islam. Sejak dua tahun lalu saya memutuskan untuk berjilbab, meskipun saat ini berada di daerah biangnya pemurtadan atau Kristenisasi. Saya juga kursus Bahasa Arab. Mohon doanya, semoga saya bisa tetap istiqomah menjalaninya. Amin.
Seperti diceritakan oleh Rini (bukan nama sebenarnya), mahasiswi Jurusan Teknik Elektro Ohio State University Amerika Serikat, kepada M Bachroni
Spanduk Penangkal Murtad
Di Yogyakarta, gerakan anti sekolah Nasrani membuahkan hasil nyata. Berkat sosialisasi terus-menerus dan tersedianya lembaga pendidikan Islam yang berkualitas
Saat tahun ajaran baru, kesibukan pengurus Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Yogyakarta biasanya bertambah. Organisasi yang menghimpun berbagai elemen ummat Islam ini harus menggelar acara rutin, yaitu lomba spanduk antarmasjid se-DIY. “Spanduk anti sekolah Nasrani,” kata Muhammad Jazir ASP, salah seorang pengurus.
Tradisi ini dimulai sejak tahun 2001 lalu, beberapa saat setelah keluar fatwa dari MUI DIY yang mengharamkan kaum Muslimin sekolah di lembaga pendidikan Nasrani. Dengan penuh semangat, FUI menyambutnya. Fatwa itu lantas ditempel di masjid-masjid, tersebar di seluruh penjuru Yogyakarta. Juga memasang spanduk di tempat-tempat strategis.
Namun membuat spanduk untuk memenuhi wilayah Kota Pelajar perlu biaya besar. Kas FUI yang saat itu cuma Rp 1 juta tak mencukupi. Muncullah ide nakal untuk menggelar lomba spanduk antarmasjid.
Meski terkesan nakal, namun ini bukan lomba main-main. Ada kriteria cukup ketat untuk menentukan juaranya, yaitu menyangkut materi, lokasi pemasangan, dan desain. Pemenangnya mendapat hadiah Rp 1 juta, diambil dari kas FUI tadi. “Lumayan kan, bisa untuk menambah kas masjid,” kata Jazir.
Tanpa diduga, peserta membludak. Tahun ajaran 2001/2002 lalu, peserta lomba mencapai 180 masjid. Menurut pengamatan Jazir, banyak pula masjid yang memasang spanduk serupa tetapi tidak mendaftarkan diri sebagai peserta lomba. Jadi bisa dipastikan, di seantero wilayah Yogyakarta jumlahnya mencapai ratusan. “Masjid di daerah Gunung Kidul pun mendaftar, dan minta panitia lomba untuk menilainya ke sana.”
Selain perang spanduk, FUI juga menerbitkan direktori sekolah yang tidak boleh dimasuki para pelajar Muslim. Jelas, yang dimaksud di sini adalah sekolah-sekolah Nasrani. Ini penting, sebab sebagian masyarakat sering terkecoh dengan nama-nama sekolah yang kental nuansa Jawa-nya tetapi sebenarnya itu sekolah Nasrani. Misalnya Marsudi Luhur, Pangudi Luhur, Sanjaya, Widodo, dan banyak lagi. “Dengan adanya direktori, masyarakat tidak akan salah pilih,” kata Jazir.
Gerakan anti sekolah Nasrani mulai menampakkan hasil. Dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ada 14 SLTP dan SLTA Nasrani di Kota Yogyakarta yang bangkrut akibat kekurangan murid. “Siswa yang mendaftar ke sekolah menengah Nasrani menurun sekitar 30%. Banyak pula SD Nasrani yang tutup,” kata Sugito, Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Yogyakarta.
Tentu saja “prestasi” itu bukan semata-mata karena spanduk. Di kawasan DIY, lembaga-lembaga pendidikan Islam memang mampu tampil dengan kualitas yang membanggakan. Jazir menyebut seperti SD Muhammadiyah Sapen yang kini buka cabang di puluhan kecamatan, SMU Muhammadiyah 1, MAN III Yogyakarta, dan beberapa sekolah lain yang mampu berprestasi di tingkat regional maupun nasional. “Jadi tak ada lagi alasan bagi kaum Muslimin untuk menyekolahkan anak di lembaga pendidikan Nasrani, yang selama ini dianggap lebih maju dibanding lembaga pendidikan Islam,” ujar Jazir.
Pengalaman menarik pernah terjadi di Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo, sekitar 30 km arah barat daya Yogyakarta. Di wilayah ini, cuma ada satu sekolah kejuruan, yaitu SMK (STM) Bopkri yang dikelola yayasan Nasrani. Siswa/i beragama Islam pun terpaksa sekolah di sini, tanpa mendapat pelajaran agama Islam.
Pada tahun 2001 berdiri SMK Negeri Samigaluh. Berkat seruan tokoh-tokoh Islam (bahwa sekolah Nasrani adalah haram), sekitar 181 siswa/i memilih “hijrah”. Akibatnya, di SMK Bopkri cuma tersisa beberapa gelintir siswa.
Untuk mencapai SMK Negeri Samigaluh, para siswa harus susah payah jalan kaki karena tak ada alat transportasi. Tokoh-tokoh Islam pun akhirnya urunan (iuran) membeli truk sebagai sarana pengangkut. Alhamdulillah, tunas-tunas bangsa itu kini tak perlu berjalan kaki. Dan yang lebih penting lagi, otaknya tidak tercuci sekolah Nasrani. (Bachroni/Pam)
Sumber Hidayatullah : Edisi 03/XVI 2003
0 komentar:
Posting Komentar