Ya Robbi : Aku Menyesal Banyak Memurtadkan orang
Dua puluh empat tahun, itulah usiaku sekarang ini, terlahir sebagai gadis Muslimah keturunan Betawi, anak ketiga dari lima orang bersaudara. Tinggi badanku 170 cm, kulitku kuning langsat. Kata orang, aku berparas cantik (bukan dalam rangka menyombongkan diri). Tentang namaku, panggil saja “Santi” (bukan nama sebenarnya).
Sebagai gadis Betawi aku merasa risih mendengar anggapan sebagian orang tentang profil khas masyarakat kami. Mereka sering menilai, kebanyakan orang Betawi itu taat beragama, tapi sayangnya tak banyak yang mengenyam pendidikan tinggi, apalagi kaum wanitanya. Bagai asap keluar dari bara api padam. Ya, aku anggap itu sebagai kritik positif. Kami pun tidak menafikannya. Sebab, realitanya boleh jadi demikian. Meski begitu, aku bersyukur karena keluargaku tidak masuk dalam kategori penilaian mereka. Meski kultur budaya kami sangat kental, namun kedua orangtuaku sangat perhatian terhadap pendidikan keluarga.
Jujur saja, aku bersyukur dibesarkan di lingkungan keluarga Betawi yang agamis dan sangat kental nuansa pendidikannya. Rata-rata saudara-saudaraku telah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Tak terkecuali aku yang dua tahun lalu telah menyelesaikan D3-ku pada bidang Komunikasi di salah satu Universitas Negeri.
Setiap orang mempunyai goresan hidup yang biasa disebut dengan “sejarah hidup”. Sejarah hidup manusia dalam kaca mata Agama tidaklah sia-sia. Satu sama lain dari manusia itu sejarahnya sudah pasti saling berbeda. Ada orang yang mempunyai sejarah keemasan yang panjang yang penuh dengan keharuman. Tentu saja yang demikian itu kelak akan menjadi kebanggaan di hari Akhirat. Sebaliknya, ada pula orang yang memiliki sejarah hidup warna-warni, bahkan ada juga yang kelam. Untuk yang terakhir ini sangat layak bila dilabelkan pada sisi kehidupan masa laluku.
Menengok sejenak ke belakang, bercermin kembali dengan merenungi apa yang telah kulakukan, maka aku hanya bisa menghela nafas panjang. Tak banyak yang dapat kubanggakan dari goresan hidup masa laluku. Bercak noda hitamku di masa silam saat aku duduk di bangku SMU sungguh tak dapat kulupakan. Hingga kini masih terngiang-ngiang dalam benak pikiranku berbagai beban dosa dan kesalahan berat saat aku ketika itu memposisikan diri sebagai informan misionaris.
Tentang profesiku sebagai intel Katolik ini pada mulanya tak banyak orang tahu, termasuk keluargaku, kecuali ibu. Beliau sangat menyesalkan sikap nekadku menyeberangi keyakinan menyimpang. Aku pun tak tahu dan tak mengerti dengan diriku, kenapa aku sampai terbawa arus pemurtadan kaum sesat itu. Mungkin, karena aku salah bergaul dan memilih teman.
Kucoba untuk mengingat-ingat kembali lembaran kusam silamku. Ya, aku masih ingat bahwa Mal sebagai pusat nongkrong anak muda gaul adalah tempat rekrutmen awalku menjelajahi dunia Nasrani yang kelam. Jumlah siswa siswi Muslim yang menjadi rekrutmen Kristen begitu banyak. Dalam sebulan bisa mencapai lima puluhan, meski akhirnya disaring menjadi dua puluhan orang atas pertimbangan, rekrutmen misonaris harus berasal dari keluarga fanatis. Tujuannya, demi memuluskan niatan busuk mereka dalam mengelabui massa Islam lainnya. Kebetulan, aku dipandang mereka sebagai orang yang berasal dari keluarga fanatik. Sedang almarhum kakekku juga adalah seorang kiai dan tokoh agamis yang kharismatik.
Begitu pandainya kaum misionaris membidik dunia anak muda sebagai terobosan aksi pemurtadan. Apa yang sedang digandrungi kawula muda, seperti ajang gaul, dunia seni, budaya dan sebagainya dimanfaatkan dan dijadikan celah oleh mereka untuk menggaet rekrutmen sebanyakk-banyaknya. Tak heran kalau akhirnya mereka mendirikan banyak LSM yang peduli dengan hobi dan kreasi anak-anak muda. Mereka pun sangat resfek dan peduli dengan berbagai masalah dan persoalan para remaja yang broken home, stress, dan kurang mendapatkan kasih sayang orangtua. Tentu saja, perangkap mereka disambut dengan tangan terbuka oleh para remaja labil ini. Tapi, biasanya untuk kriteria anak-anak remaja semacam ini hanya diarahkan untuk menjadi korban pemurtadan.
Aku sadar bahwa sejak kelas satu SMU aku tak lagi Muslimah. Sebab, mereka telah membabtisku. Kala itu kurasakan, jiwaku terlepas dan terhempas. Nilai ruhiyahku tak lagi bersemayam dalam hati dan kepribadianku. Aku benar-benar menjadi seorang yang murtad dari agama yang lurus ini. Pertemuan rutin seminggu dua kali tanpa kusadari telah mendoktrinku dan memperkuat keyakiananku yang tak lagi islami.
Aku telah terbawa arus begitu jauh. Kafa’ah (potensi)ku dalam soal lobi-melobi setiap kepala sekolah, benar-benar dimanfaatkan pihak misionaris Katolik. Kedudukan ayahku meski tidak tinggi di Depdikbud memperlancar press down yang kulakukan terhadap setiap kepala sekolah di SMU Jakarta. Setan tertawa terbahak-bahak saat aku berhasil meloloskan banyak program pemurtadan di sekolah-sekolah SMU di Jakarta. Aku tak tahu persis, sudah berapa banyak rekan-rekan remaja Muslim yang telah kuhantarkan ke jurang akidah sesat. Sebab tugasku selama itu hanya sebatas informan dan pelobi awal. Tugas selanjutnya, yaitu memasukkan program-program pemurtadan ditindaklanjuti oleh para misionaris Katolik. Yang sangat riil kurasakan di sekolahku adalah pihak Katolik telah berhasil mengondisikan sekolahku membiasakan doa bersama dengan pola cara yang tak lagi Islami.
Tugasku sebagai informan tidak berhenti sampai di situ. Pembinaku yang biasa dipanggil oleh rekan-rekanku sesama informan dengan sebutan “father” mengarahkanku untuk selalu menyadap berita dan informasi penting tentang pergerakan Islam yang makin marak di sekolah-sekolah umum. Tugasku adalah mencatat, sudah sejauh mana perkembangan gerak para aktivis Muslim di sekolah. Aku juga sempat menginformasikan kepada mereka tentang pola cara penyebaran fikrah ala kaum Muslimin di Mesir dari beberapa sekolah SMU.
Tentu saja misionaris merasa senang dengan keluguanku yang seperti kerbau dicocok hidungnya, pasrah diapakan saja dengan mereka. Meski aku berangkat dari keluarga berada dan mampu membiayaiku dan pendidikanku, tapi mereka para misionaris itu memberikan imbalan uang atas jasaku sebagai informan mereka.
Informasi demi informasi kuberikan setiap hari kepada mereka, dari hal terkecil sampai yang terbesar. Upaya gigihku ini semakin menumbuhkan kepercayaan mereka terhadapku. Sejak itu aku ditawarkan subsidi untuk biaya pendidikanku. Kata mereka, aku berhak disekolahkan mereka setinggi-tingginya, asalkan aku selalu siap diarahkan mereka.
Apa yang kulakukan selama ini akhirnya tercium oleh ibuku. Beliau sangat terkejut ketika mengetahui status agamaku yang sebenarnya dan posisiku sebagai informan Katolik. Dengan penuh kasih sayang dan sekuat tenaga ia berupaya menyadarkan aku. Tapi akidahku tak bergeming sama sekali. Kala itu aku tetap berpegang teguh sebagai seorang kristiani. Sampai akhirnya, ibuku merasa letih sendiri karena kehabisan akal untuk menasihatiku. Beliau adalah ibu terbaik sepanjang hidupku. Meski antara ibu dan anak beda akidah, beliau tetap baik terhadapku dan memperlakukan aku sebagai anak kesayangannya. Dengan linangan air mata, ia menyuruhku untuk berhijrah ke tempat saudaraku agar statusku sebagai penganut Kristen Katolik tidak diketahui ayah dan saudara-saudaraku. Hingga kini mereka memang tidak mengetahui status agamaku itu.
Aku menuruti kehendak ibu yang menginginkan aku tak serumah lagi dengannya. Aku jauh dari ibu. Sepanjang itu aku tak tahu kalau ibu ternyata begitu perhatian sekali terhadap nasibku di dunia dan akhirat. Dia sangat mengkhawatirkan aku dan tak rela kalau aku masuk neraka. Siang malam ibu berdoa agar Allah berkenan membukakan hidayah-Nya kembali untukku.
Sebelum aku murtad, kurasakan berbagai sentuhan nasihatnya yang begitu sejuk menyentuh kalbu ini. Aku masih ingat saat-saat indah bersama ibu ketika beliau mengajariku membaca al-Qur’an. Kebetulan, selain sebagai ibu rumah tangga, di luar rumah beliau berprofesi sebagai guru agama di sekolah umum (SLTP). Huruf demi huruf dilafalkannya untukku dengan penuh kesabaran. Itu dilakukan agar aku bisa membaca al-Qur’an dan ibu selalu mengharapkanku menjadi Muslimah yang shalihah, bermanfaat buat tabungan seluruh keluarga di akhirat kelak.
Terakhir kudengar kabar bahwa ibuku jatuh sakit. Waktu itu aku masih duduk di kelas dua SMU. Aku pun menjenguknya. Tapi ibu memalingkan wajahnya saat sakitnya makin parah. Ia memerintahkan saudaraku untuk menyuruhku keluar dari ruangan tidurnya. Aku tak lagi diperkenankan untuk melihat wajah kecintaanku. Melihat perlakuan ibu demikian, aku tidak merasa sakit hati. Aku sadar kalau diriku selama ini telah mengecewakan ibu dan keluarga.
Sakaratul maut menjelang ibu. Belum lagi aku sempat bergegas pergi dari pintu rumahku, ibu dipanggil ke haribaan Allah Sang Rabbul Izzati. Beliau telah meninggalkanku dengan membawa pengharapan besar, yaitu perkenan Allah atas kembalinya kesadaranku pada akidah yang lurus (Islam).
Sepeninggalan ibu, aku selalu murung dan merenung panjang. Aku mencoba menggunakan daya nalarku yang sempit ini untuk berpikir dan bermuhasabah tentang hakikat hidup ini. Akhirnya lewat renungan panjang selama kurang lebih setahun sepeninggalan ibunda tercinta, Allah SWT mengembalikan kesadaranku untuk kembali ke pangkuan Islam. Kala itu aku sudah memulai kuliahku di salah satu Universitas Negeri.
Aku bersyukur kepada Allah mendapatkan tempat kuliah yang sangat kondusif. Lingkungan kampus yang Islami ini telah menyentakkan ingatan dan kesadaranku terhadap kesalahanku selama ini. Di kampus begitu banyak aktivis Muslim dan Muslimah. Sikap dan perilaku mereka menampakkan kecerdasan emosional, intelektual, dan spiritual. Baru kusadar, ternyata Islamlah yang membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi Muslim yang tangguh. Terbesit dalam hatiku rasa iri terhadap mereka. Hatiku mengatakan, betapa sakinahnya bila aku menjadi aktivis Muslimah yang kuat akidahnya. Mungkin nantinya bila aku seperti mereka, pemahamanku tentang Islam tak lagi keliru.
Akhirnya, tekad hati untuk bergabung dengan mereka, semakin kuat. Alhamdulillah, Allah memudahkan langkahku menuju pintu hidayah. Kehadiranku ke Islam disambut gembira oleh rekan-rekan aktivis Muslim di kampus.
Aku meminta perlindungan kepada mereka. Sebab, sejak keislamanku kembali, kaum misionaris itu tidak begitu saja membiarkanku keluar dari komunitas mereka. Beberapa kali aku diancam. Tentang perihal teror tersebut kuadukan kepada ketua aktivis kampus. Alhamdulillah, ia dan rekan-rekanku siap mensupport dan membelaku bila ada pihak-pihak misionaris yang berani berbuat macam-macam terhadapku. Sejak itu, kehidupanku kembali normal, bahkan bertambah nilai kekuatan imanku.
Waktu terus berputar mengiringi kedewasaanku dalam menyikapi ajaran agama (Islam). Aku merasa jauh lebih baik saat aku berislam atas dasar kemauan hatiku sendiri, bukan karena faktor keturunan. Pencarianku terhadap hidayah tidak sia-sia. Ada hikmah besar yang dapat kupetik, ternyata setelah aku membedakan antara Islam dan agama lain, kudapati Islam jauh lebih unggul. Kebenaran mutlak ada pada Islam.
Di usiaku yang kedua puluh empat tahun ini, ayahku memintaku untuk segera memasuki jejang rumah tangga. Teringat dengan ibu yang kala itu aku tak sempat berbakti sebagai anak shalihah karena status agamaku yang berbeda, maka aku tak ingin kekecewaan ibu itu terulang kembali kepada ayah. Aku bertekad akan memperkuat hubungan birrul walidain. Untuk itu, dengan penuh kerendahan dan keikhlasan hati, kuturuti permintaan ayahandaku.
Namun, aku dihadapkan oleh kendala. Setiap aku melakukan ta’aruf dengan calon suamiku yang rata-rata adalah aktivis Islam, aku seperti didamparkan. Mereka menolakku ketika mereka tahu tentang latar belakangku. Mereka masih meragukan keislamanku. Bahkan di antara rekan-rekanku ada yang mensinyalir bahwa kekuatan Kristen Katolik itu masih bersemayam dalam tubuh dan hatiku dengan perantara jin kafir. Kemudian mereka menyarankan aku untuk diruqyah. Beberapa kali aku diruqyah oleh salah seorang ustadz, bahkan sampai dibekam segala.
Kupahami bahwa ini adalah bagian dari ujian Allah SWT. Aku percaya bahwa Allah takkan membiarkanku sengsara karena tak sanggup menanggung fitnahan sebagai infiltran Katolik yang menyusup ke dalam salah satu pergerakan Islam. Aku yakin, kelak Dia akan menampakkan bahwa kebenaran itu adalah hak dan kebatilan itu adalah batil. Akhirnya, aku bersimpuh kepada Allah SWT, memohon ampunan atas segala kesalahanku di masa silam. Sungguh aku menyesal telah memurtadkan banyak orang.
Seperti dituturkan S kepada Ikhwan Fauzi
sumber : majalah sabili edisi Feb'04
0 komentar:
Posting Komentar